Residensi Rantai Bunyi Dawai di Tanah Papua Digelar, Diikuti 15 Peserta

oleh -1.284 views
Salah satu peserta saat melihat Rantai Bunyi Dawai sedang dimainkan saat digelar ditanah Papua.(Foto. Istimewa)  

Kilaspapua, Sentani- Pada Pekan Kebudayaan Nasional,(PKN) Tahun 2023, Direktoral Jendral Kementerian Kebudayaan Pendidikan Riset dan Teknologi menggelar kuratorial. Rantai bunyi merupakan salah satu dari delapan kuratorial yang tengah dirancang  di PKN tersebut. Dalam kegiatan Resedensi Rantai Bunyi Dawai Tanah Papua yang digelar mulai hari Rabu (6/9/2023) hingga Selasa (12/9/2023) di ikuti sebanyak 15 peserta dari Biak, Serui, Jayapura, Lanny Jaya, Mamberamo Raya, Ambon, Ternate, Mappi, Asmat, Tolikara, Tambrauw dan Sorong.

Peserta akan memperkenalkan instrumen dawai dari daerah mereka serta menunjukkan keahlian memainkan alat musik pada kurator, peserta dibawah difasilitatori Septina Layan dari Papua dan Ilham dari Solo, Jawa Tengah.

Materi bunyi yang menjadi fokus dalam perayaan Pekan Kebudayaan Nasional 2023 adalah dawai dengan atau tanpa nyanyian. Rantai Bunyi menelusuri bagaimana material musik berciri serupa antar-wilayah musikal, berdasarkan warisan budayanya masing-masing, merantai secara kontekstual.

Pengantar dari kurator, Nyak Ina Raseuki yang disapa Kaka Ubiet disela-sela kegiatan Residensi Rantai Bunyi Dawai Tanah Papua menyatakan, program residensi akan terlaksana di lima wilayah se-Indonesia diantaranya, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur dan Papua.

“Kenapa disebut dengan rantai bunyi, karena dipersambungkan dari wilayah barat, tengah hingga timur di Indonesia. Bagaimana melalui bunyi kita bisa ditemukan pengetahuan-pengetahuan disambung satu sama lain melalui bunyi,” katanya, Kamis (7/6/2023).

Ia mengungkapkan, dalam kegiatan ini juga pihaknya bekerja sama dengan sejumlah komunitas, seperti di Papua sendiri terpilih komunitas action yang terdiri dari 15 peserta dari 12 daerah dalam Papua serta luar papua termasuk  2 fasilitator dari Papua dan Solo, Jawa Tengah,” ungkapnya.

Residensi itu juga, lanjutnya bertujuan mempertemukan budaya-budaya antar daerah seperti saat ini mempertemukan sub kultur budaya daerah Papua, Ambon dan Ternate.

“Residensi yang baik biasanya satu bulan, namun ini karena ada keterbatasan sumber daya, sumber dana dan lainnya. Sehingga dilaksanakan hanya seminggu saja,” kata Kaka Nyak.

Ketua Komunitas Action Darlane Litaay menyampaikan terima kasih atas terjalinnya kerjasama dengan Kemendikbud terhadap kepercayaan yang memilih komunitas action untuk menyelenggarakan kegiatan

“Peserta dalam kegiatan ini rata-rata seniman produktif dan sebagain besar telah mempunyai karya masing-masing,” kata Darlane.

Ia membeberkan, selama ini pihaknya terus merangkul lintas generasi mulai dari anak-anak tingkat Taman Kanak-Kanak (TK), SD, SMP, SMA hingga Universitas, untuk bersama-sama terlibat dalam setiap kegiatan mandiri maupun bersama pemerintah.

“Konsentrasi kami paling banyak ke anak-anak SMA, untuk membuat sebuah karya kolosal. Diluar itu, mereka-mereka ini menjadi partner kami bekerjasama dalam berbagai event yang kami laksanakan secara mandiri ataupun kerjasama dari berbagai institusi pemerintah,” kata Darlane.

Diceritakan Darlane, interaksi Komunitas Action ini telah dan terus berlangsung sejak komunitas tersebut berdiri tahun 2014 hingga saat ini, banyak sekali karya musik yang telah dihasilkan mengarah hal positif dalam hal berkesenian.

“Ruang seni di Tanah Papua, sebenarnya banyak. Hanya saja bagaimana mengaktifasi ruang ini dalam tanda petik infrastruktur yang ada. Nah, komunitas action ini mencoba mengaktifasi ruang-ruang tersebut,” ujarnya.

Apakah ada kendala? Banyak sekali kendala yang dihadapi komunitas action, terkait ruang atau infrastruktur yang bukan milik mereka. Namun, pihaknya terus mencoba kerjasama secara intens kepada komunitas lokal atau masyarakat lokal, agar ruang-ruang tersebut dapat digunakan secara fisik.

“Kami juga terus bertukar pendapat dengan berbagai macam seniman pelaku seni, pemerhati dan stekholder yang lain, agar dapat memberikan suasana baru kepada masyarakat Papua terkait kesenian. Sehingga masyarakat bisa tahu bahwa tanpa ada ruang pertunjukan khusus seni, bisa dimana saja melakukan even kesenian,” katanya.

Rantai Bunyi ini memungkinkan seluruh pihak yang terlibat untuk tidak lagi mengarahkan panggung semata-mata ke arah luar, melainkan ke dalam wilayah budaya selingkung, di mana panggung diperluas untuk dapat menengok, mempelajari dan memahami bunyi diri sendiri, sekaligus memahami bunyi Indonesia.

Rantai Bunyi merupakan model penelusuran musik Nusantara, meliputi penjajakan atas sejarah bunyi dari kebudayaan di masa lalu, pertukaran pengetahuan musik terkini dan kemungkinan eksplorasi yang dapat dikembangkan dan dipertukarkan di masa depan. (Rilis)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *