Pemekaran DOB Papua Tengah harus sesuai wilayah adat, Johanes Wanaha : Nabire bukan wilayah adat Mee Pago tapi Saireri

oleh -463 views
oleh
Ketua tim adat Saireri, Johanes Wanaha.(Foto. Istimewa)

Kilaspapua, Jayapura- Masyarakat adat Saireri di Kabupaten Nabire sepakat bahwa, Nabire merupakan wilayah adat Saireri bukan Mee Pago. Hal ini tertuang dalam petisi yang telah ditandatangani. Maka itu, tokoh adat Saireri mengusulkan agar pemekaran daerah otonom baru (DOB), khususnya Papua Tengah harus berdasarkan budaya dan wilayah adat guna mencegah terjadi persoalan dikemudian hari.

Ketua tim adat Saireri, Johanes Wanaha menanggapi polemik pemekaran DOB Provinsi Papua Tengah mengatakan, Pemerintah lewat instansi Komisi II DPR RI harus turun ke lapangan, menyerap aspirasi sekaligus melakukan kajian dan pemetaan wilayah adat secara baik, sehingga pemekaran yang dilakukan tidak terjadi polemik di tengah masyarakat,” katanya yang juga sebagai Ketua suku Wate dalam release yang diterima Redaksi KILASPAPUA.COM, Kamis (24/2/2022).

Menurutnya, Nabire bukanlah wilayah adat Mee Pago, tetapi masuk wilayah adat Saireri, begitu juga Mimika bukanlah wilayah adat Mee Pago atau La Pago, karena masyarakat Mimika dasarnya merupakan suku Kamoro. Sehingga sudah seharusnya hal ini dikaji lebih baik dan bijak.

“Saya ambil contoh, ketika saudara kami di atas pegunungan gelar acara adat, mereka bukan waita atau menari berkeliling tetapi mereka tari Yospan yang merupakan budaya orang Saireri, bahkan pada acara adat di pinggir danau Paniai juga menggunakan tifa yang merupakan alat musik adat Saireri,” ucapnya.

Disamping itu, saya juga mengklarifikasi soal isu-isu liar yang menyebutkan penolakan atau pengusiran terhadap warga lainnya di Nabire, itu tidak benar.

“Kalau ada isu-isu miring belakangan ini, kita dengar dan bilang bahwa orang Nabire mau mengusir saudara-saudara kita yang lain, itu tidak benar. Tapi tolong dipahami dan disikapi baik maksud yang menjadi tujuan dan dasar yang disampaikan, barang ini kalau dilihat dari sisi politik, pemerintahan dan lain-lain, ini bisa diadu domba, padahal tujuan kita itu baik. Menerangkan soal wilayat adat dan budaya,” sebutnya.

Maka, Ia minta kepada pihaknya telah berjuang hingga ke DPRD Kabupaten Nabire untuk menjelaskan persoalan yang dimaksud bahwa Nabire bukan wilayah adat Mee Pago.

“ Terkait itu, kami bahkan telah menggelar aksi damai menandatangani petisi yang nantinya akan dibawa dan diaspirasikan ke Jakarta, ke Mendagri, Komisi II DPR RI dan ke Presiden Jokowi,” ujarnya.

Masih katanya, perjuangan Nabire bukan wilayah adat Mee Pago, juga mengundang Kepala Suku Mee, Ferry You dan tokoh adat Mee Pago lainnya seperti Donatus Gobay, hingga Andreas Pekey serta tokoh masyarakat berpengaruh lainnya. Para tokoh adat tersebut mendukung dan menyampaikan bahwa hal itu perlu penjelasan karena memang hak yang harus diperjuangkan.

“Sehingga kami mau, sebelum pemerintah melaksanakan pemekaran Provinsi, harus ada penjelasan dasarnya apa dalam pembagian atau penempatan wilayah adat. Agar tidak ada suku yang menjadi korban karena berbeda kultur atau budaya karena Nabire ini ada enam suku besar di antaranya Suku Wate, Suku Yerisiam, Suku Mora dan empat kerukunan yakni Wandamen, Yapen Waropen, Kepulauan Yapen dan Kerukunan Biak Supiori,” katanya.

Sementara itu, rekannya Reinhard Windesi menegaskan bahwa, DOB jangan melupakan budaya dan wilayah adat sehingga mengorbankan sejumlah suku dan kerukunan yang ada di Nabire.

“Jadi, tidak boleh ada satupun kultur budaya di tanah Papua yang hilang, karena kita salah penyebutan atau salah melangkah. Apalagi beranjak dari kepenting-kepentingan birokrasi dan politik, ini harus kita hindari kedepan, karena budaya ini merupakan kekayaan budaya tanah  Papua dan nusantara, kita harus lindungi,” tegasnya.

Lanjutnya, seharusnya, para kepala daerah di Papua bisa menyelesaikan dulu persoalan wilayah adat sehingga pemekaran yang diwacanakan tidak korban rakyat si pemilik wilayah.

“Karena penggabungan budaya dan wilayah adat akan terjadi kekacauan dalam pembangunan sehingga semangat peningkatan kesejahteraan akan jauh, jadi hal ini diselesaikan dulu agar bisa optimal,” harapnya.

Sebelumnya, tanggal 16 -17 Februari 2022 bertempat di Pantai Maf, Konsolidasi Masyarakat Adat Pesisir Nabire menggelar penandatanganan petisi bahwa Nabire adalah wilayah adat Saireri bukan Mee Pago yang dipimpin oleh Johanes Wanaha.

Pada momentum itu, Ketua Dewan Adat Papua Wilayah Nabire, Herman Sayori mengatakan bahwa hasil petisi itu akan diserahkan kepada DPRD Nabire, dilanjutkan ke DPR Papua hingga ke MRP dan ke Jakarta kepada Presiden Jokowi.(Adv)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *