Peradilan Adat di Papua (Study Suku Mee di Papua Menurut Prof Leopold Pospisil)
Oleh
John NR Gobai
Pengantar
Leopold Pospisil seorang Profesor dari sebuah universitas di Amerika serikat, beliau pernah melakukan penelitian di wilayah adat suku mee di Papua dan beliau melihat bahwa proses peradilan telah ada sebelum adanya negara, dari pengamatannya Leopold Pospisil menyimpulkan sebuah teori yaitu Atribut Sanksi.
Atribut sanksi.
Pospisil merumuskan sanksi sebagai suatu alat yang negatif untuk tidak memberikan hadiah atau bantuan, atau suatu cara positif, yaitu memberikan pengalaman yang menyakitkan, fisik atau psikologis. Sanksi yang langsung dikenakan mempunyai peranan yang penting sekali dalam pengawasan sosial.
Pospisil melihat hukum sebagai prinsip yang diabstraksikan dari keputusan yuridis. Jalan yang paling tepat untuk mempelajari hukum yakni melalui pendekatan kasus. Dengan menerima kasus hukum sebagai jawaban terhadap pertanyaan mengenai bentuk hukum, maka pengertian hukum menjadi universal (tidak ada masyarakat di muka bumi yang tidak mempunyai hukum).
Keputusan-keputusan hukum diumumkan secara luas dan diketahui oleh masyarakat sehingga dapat menjadi alat pengendali sosial yang efektif bagi semua orang. Keputusan hukum merupakan pernyataan yang dirumuskan secara positif dalam bahasa yang mudah dimengerti. Keputusan hukum tidak bersifat ketinggalan zaman, ia mencerminkan perubahan sampai yang kecil sekalipun. Keputusan hukum juga mencerminkan kebudayaan yang sedang berlangsung dalam suatu masyarakat, dan mencerminkan nyawa dari masyarakat itu, yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat itu sendiri.
Peradilan adat suku Mee
Pospisil menyimpulkan teori ini dengan melihat proses pembuatan keputusan pada suku Kapauku ( Suku Mee) dari Lembah Kamu di Irian Jaya ( Kabupaten Dogiyai). Pada orang Kapauku ( Mee) “proses hukum” biasanya dimulai dari percekcokan. “Penggugat” menuduh “tergugat” bahwa dia melakukan tindakan yang merugikan “tergugat”. Tergugat mengingkarinya atau mengemukakan alasan pembenaran bagi tindakannya. Percekcokan itu biasanya diramaikan oleh teriakan-teriakan yang menarik perhatian umum sehingga mereka berkumpul. Kerabat-kerabat akrab dari kedua pihak menyatakan dukungannya dan mengajukan pendapat dan kesaksian melalui pidato-pidato yang penuh emosi atau dengan jeritan-jeritan. Kalau jenis perkelahian ini, yang dikenal dengan istilah mana koto tidak terkendalikan, maka percekcokan biasanya berubah menjadi perkelahian dengan tongkat-tongkat atau menjadi perang. Tapi pada umumnya, orang-orang penting dari suku-suku serta dari klen bagan yang bersahabat atau dari klen besar datang menengahi. Mula-mula mereka duduk-duduk saja di antara penonton dan mendengarkan alasan-alasan dari kedua belah pihak. Bila perdebatan dengan menggunakan kekerasan, maka kepala adat yang kaya mengangkat suara. Dia menyerukan supaya kedua pihak bersabar, dan dia melancarkan pertanyaan-pertanyaan kepada “penggugat” maupun “tergugat”. Dia mencari bukti-bukti di rumah “tergugat” atau di tempat perkelahian itu, yang akan dapat mendukung bahwa tergugat bersalah. Tindakan kepala adat itu dinamakan boko petai, yang secara bebas dapat diterjemahkan sebagai “mencari pembuktian”.
Setelah ada kepastian mengenai bukti itu, pemegang otoritas mulai dengan tindakan yang oleh rakyat dinamakan boko duwai, yaitu proses membuat keputusan dan mendorong kedua pihak untuk mengikuti/melaksanakan keputusan itu. Pemegang otoritas mengucapkan pidato yang panjang di mana dia merangkum bukti-bukti yang ditemukan, kemudian mengutip suatu aturan di masyarakat itu, dan akhirnya menyatakan pada kedua pihak apa saja yang harus dilakukan untuk menghentikan perselisihan itu.
Kalau kedua pihak tidak mau menerima, pemimpinnya menjadi emosional dan mulai menyalahkan mereka. Dia mengucapkan pidato yang panjang dimana dijalinkan bukti-bukti, aturan-aturan, keputusan-keputusan sebelumnya, supaya kedua pihak terdorong menerima keputusannya. Malahan ada pemimpin yang sampai menarikan wainai atau tarian, atau yang tiba-tiba merubah taktik dengan menangis menunjukkan kepahitan hatinya, karena kelakuan “tergugat” yang tidak pantas dan tidak mau menurut itu.
Penutup
Dari pemikiran Leopold Pospisil terbukti bahwa masyarakat adat telah memahami dan melaksanakan peradilan adat, sebelum ada negara dengan pengadilannya.
Pertanyaannya sudahkah kita memposisikan peradilan adat secara benar?
Saya pikir harus dibuat peradilan adat dalam bentuk yang nyata berupa gedung atau lapangan terbuka dan hakim adatnya dibiayai oleh negara.